Selasa, Oktober 06, 2009

Panduan Makanan Bayi

Panduan Makanan Bayi


ASI eksklusif menurut panduan WHO terbaru diberikan selama 6 bulan pertama tanpa makanan tambahan apapun karena nutrisi yang dikandungnya sudah mencukupi untuk 6 bulan pertama kehidupan. Selanjutnya anak akan diperkenalkan terhadap makanan padat secara perlahan-lahan.

Pada usia 6- 9 bulan, dimulai makanan tambahan pendamping dari yang cair terlebih dahulu (susu formula) ditambah makanan halus seperti bubur susu, buah, dan sayuran. Makanan ini dihaluskan dan dimasak. ASI masih WAJIB diberikan, dianjurkan diteruskan selama 1 tahun kehidupan. Bahkan jika memungkinkan untuk diteruskan hingga 2 tahun, justru hal ini lebih baik bahkan karena kandungan yang terasupi menjadi lebih lengkap.

Pada usia 8 bulan bayi dapat diperkenalkan dengan ‘finger foods’ yaitu snack yang dapat dimakan oleh bayi sendiri (tidak perlu disuapi), seperti buah yang dipotong-potong ukuran kecil sehingga bayi dapat makan sendiri. Makanan halus ini diberikan 2-3x/hari.

Pada usia 9-12 bulan, konsistensi makanan menjadi makanan semi-padat atau disaring, istilahnya tim saring. Usia ini kombinasi antara bubur susu, buah, tim saring. Makanan ini diberikan dengan tujuan untuk melatih kemampuan pergerakan rahang atas dan bawah dan melatih kemampuan mengunyah (penggunaan gigi apabila sudah ada). Selanjutnya dapat disajikan makanan dengan tekstur padat atau kasar. Makanan semi-padat/kasar disajikan 3-4 kali/hari dengan tambahan snack 1-2x/hari, seperti roti, buah. Snack adalah makanan yang disajikan diantara waktu makan yang umumnya mudah disiapkan, dan dapat dimakan sendiri oleh bayi. Ibu dapat memberikan variasi snack dengan cara mengolah sendiri masakan .

Jika telah menginjak usia lebih dari 12 bulan, dapat diperkenalkan makanan sebagaimana orang dewasa konsumsi, namun penting adanya perkenalan makanan dilakukan satu per satu secara bertahap untuk memantau timbulnya alergi atau tidak, terutama untuk jenis telur, seafood, dan susu sapi. Hindari makanan yang menyebabkan tersedak (memiliki konsistensi keras) seperti kacang, anggur, wortel mentah.

Berikanlah makanan bervariasi untuk memenuhi kebutuhan nutrisi. Daging, unggas (ayam), ikan, dan telur dapat diperkenalkan dini, karena mereka adalah sumber nutrisi yang dibutuhkan. Namun diingat sekali lagi, bahwa pemberian makanan ini harus dilakukan satu persatu untuk melihat ada atau tidak reaksi alergi.

Contoh :

  • Hari senin memberikan tim ayam. Bila tidak ada masalah, lanjutkan sampai hari kamis (3-4 hari) untuk melihat reaksi alergi
  • Apabila anak baik2 saja (tidak ada alergi), pada hari kamis/jumat, anak dapat diperkenalkan tim ayam dan ati. Lanjutkan sampai hari senin berikutnya.
  • Apabila tidak ada masalah,anak dapat diberikan tim ayam + hati + telur, atau tim telur saja
Selanjutnya pengenalan makanan dilanjutkan seperti contoh di atas. Hal ini dilakukan untuk melihat adanya reaksi alergi.

Hindarilah memberikan minuman dengan kadar nutrisi rendah seperti teh, kopi, dan minuman dengan kadar dula tinggi seperti soda. Pada minuman teh dan kopi terkandung komponen yang dapat mengganggu penyerapan zat besi. Minuman bersoda pun tidak dianjurkan, karena kadar nutrisinya yang rendah dan dapat membuat anak kenyang dan kehilangan nafsu makan. Batasi pemberian jus buah karena dikhawatirkan bayi merasa kenyang dan justru tidak mau makan makanan utama yang mengandung kadar gizi lebih tinggi.

ASI memang memiliki kadar protein dan vitamin yang tinggi. Kandungan didalamnya memenuhi asupan nutrisi pada anak usia 0-24 bulan. Namun ASI memiliki kadar mineral rendah yang dibutuhkan untuk pertumbuhan anak. Diantaranya seperti kadar zat besi dan zinc (seng). Pada usia 9-11 bulan, proporsi asupan nutrisi yang direkomendasikan untuk gizi dari makanan tambahan ASI adalah 97% untuk zat besi, 86% untuk zinc, 81% untuk fosfor, 76% untuk magnesium, 73% untuk natrium, dan 72% untuk kalsium (Dewey, 2001).

Susu sapi segar sebaiknya baru diberikan setelah usia bayi mencapai 12 bulan karena risiko perdarahan dari usus dan rendahnya kadar zat besi di susu tersebut (Ziegler et al., 1990; Griffin and Abrams, 2001). Karena alasan yang sama, maka disarankan untuk memperkenalkan makanan yang berasal dari produk susu seperti keju, yoghurt, dan susu kering (yang dicampurkan dengan makanan lain, seperti makaroni skotel) pada usia lebih dari 12 bulan.

Kemungkinan reaksi alergi akibat konsumsi makanan tinggi protein perlu dipertimbangkan sebelum memberi makanan pada bayi. American Academy of Pediatrics merekomendasikan bahwa bayi dengan riwayat alergi atau sensitivitas terhadap makanan cukup tinggi, direkomendasikan utnuk baru memperkenalkan susu sapi di atas usia 1 tahun, telur di atas usia 2 tahun, dan kacang-kacangan serta ikan diatas usia 3 tahun. Hal ini disebabkan karena penghindaran makanan yang dapat menyebabkan alergi dapat mencegah terjadinya dermatitis atopi (peradangan pada kulit akibat alergi) pada bayi dengan risiko tinggi menderita alergi

POLA-POLA PERADANGAN

POLA-POLA PERADANGAN

D.1 Eksudat Nonselular

D.1.1. Eksudat Serosa

Eksudat serosa adalah eksudat ( cairan dan zat-zat yang terlarut dengan sedikit leukosit ) yang terdiri atas protein yang bocor dari pembuluh-pembuluh darah yang permeable di daerah peradangan bersama dengan cairan yang menyertainya. Contoh eksudat serosa yang paling dikenal adalah cairan pada luka lepuh. Penimbunan eksudat serosa yang serupa sering ditemukan dalam rongga tubuh. Kadang-kadang terjadi pengumpulan cairan di dalam rongga tubuh yang bukan karena peradangan, biasanya karena peningkatan tekanan hidrostatik atau penurunan kadar protein plasma.

D.1.2. Eksudat Fibrinosa

Eksudat fibrinosa terbentuk saat protein yang keluar dari pembuluh darah di daerah peradangan mengandung banyak fibrinogen. Fibrinogen ini diubah menjadi fibrin, berupa jalinan yang lengket dan elastic. Eksudat fibrinosa sering dijumpai di atas permukaan serosa yang meradang. Gesekan pada permukaan-permukaan kasar menimbulkan suatu tanda yang disebut friction rub, yang dapat didengar melalui stetoskop di atas daearah yang terkena.

D.1.3 Eksudat Musinosa

Adalah jenis eksudat yang hanya dapat terbentuk di atas permukaan membrane mukosa, tempat sel-sel yang dapat mensekresi musin. Jenis eksudat ini berbeda dengan eksudat lain karena eksudat ini merupakan sekresi seluler, bukannya dari sesuatu yang keluar dari aliran darah. Sekresi musin merupakan sifat normal membran mukosa, dan eksudat musinosa. Contoh eksudat musin yang paling dikenal dan sederhana adalah pilek.

D.2 Eksudat Selular

D.2.1 Eksudat Neutrofilik

Merupakan eksudat yang terdiri atas PMN dalam jumlah yang banyak sehingga lebih menonjol daripada bagian cairan dan proteinase. Eksudat semacam ini disebut eksudat purulen. Eksudat purulen terbentuk sebagai respons terhadap infeksi bakteri. Infeksi bakteri sering menyebabkan konsentrasi PMN yang sangat tinggi yang tertimbun di dalam jaringan, dan banyak sel-sel ini mati serta membebaskan enzim-enzim hidroliknya yang kuat di sekitarnya. Kombinasi agregasi neutrofil dan pencairan jaringan-jaringan di bawahnya disebut supurasi, atau lebih sering disebut pus. Jadi, pus terdiri atas PMN yang hidup, mati, dan yang hancur.

D.2.2 Eksudat Campuran

Eksudat campuran adalah campuran antara eksudat selular dan nonselular. Campuran ini meliputi eksudat fibrinopurulen, yang terdiri atas fibrin dan PMN. Eksudat mukopurulen terdiri atas musin dan PMN.

( Sylvia A. Price, 2006 )

A. MEKANISME DEMAM AKIBAT INFEKSI

Demam yang timbul akibat infeksi suatu penyakit merupakan respon perlindungan terhadap bibit penyakit yang menyerang tubuh. Ketika virus, bakteri atau kuman memasuki tubuh, sel-sel darah putih akan bereaksi dan menghasilkan hormon yang akan memberikan perintah ke otak untuk menaikkan pengatur panas tubuh. Sehingga suhu tubuh yang tinggi membantu sistem daya tahan tubuh untuk memerangi infeksi dan beberapa mikro-organisme yang tidak dapat bertahan hidup pada suhu yang tinggi.

Mekanismenya :

Jatuh →Luka → Kulit Terbuka → Hilangnya Barrier Mekanik → Bakteri ( Staph. Epidermidis, E. Coli ) masuk ke tubuh lewat luka → Sel makrofag memakan bakteri → bakteri rusak keluar mediator inflamasi ( IL-1, IL-6 dan Sitokin ) → Reaksi Radang → IL-6 ikut darah ke otak → Di hypothalamus, IL-6 menaikkan set point → Demam

( Sylvia A. Price, 2006 )

B. PROSES PENUTUPAN DAN PENYEMBUHAN LUKA

Penyembuhan luka merupakan suatu proses yang kompleks karena berbagai kegiatan bio-seluler, bio-kimia terjadi berkisanambungan. Penggabungan respons vaskuler, aktivitas seluler dan terbentuknya bahan kimia sebagai substansi mediator di daerah luka merupakan komponen yang saling terkait pada proses penyembuhan luka. Besarnya perbedaan mengenai penelitian dasar mekanisme penyembuhan luka dan aplikasi klinik saat ini telah dapat diperkecil dengan pemahaman dan penelitian yang berhubungan dengan proses penyembuhan luka dan pemakaian bahan pengobatan yang telah berhasil memberikan kesembuhan.

Pada dasarnya proses penyembuhan ditandai dengan terjadinya proses pemecahan atau katabolik dan proses pembentukan atau anabolik. Dari penelitian diketahui bahwa proses anabolik telah dimulai sesaat setelah terjadi perlukaan dan akan terus berlanjut pada keadaan dimana dominasi proses katabolisme selesai. Setiap proses penyembuhan luka akan terjadi melalui 3 tahapan yang dinamis, saling terkait dan berkesinambungan serta tergantung pada tipe/jenis dan derajat luka. Sehubungan dengan adanya perubahan morfologik, tahapan penyembuhan luka terdiri dari:

1. Fase Inflamasi

Fase inflamasi adalah adanya respons vaskuler dan seluler yang terjadi akibat perlukaan yang terjadi pada jaringan lunak. Tujuan yang hendak dicapai adalah menghentikan perdarahan dan membersihkan area luka dari benda asing, sel-sel mati dan bakteri untuk mempersiapkan dimulainya proses penyembuhan. Pada awal fase ini, kerusakan pembuluh darah akan menyebabkan keluarnya platelet yang berfungsi hemostasis. Platelet akan menutupi vaskuler yang terbuka (clot) dan juga mengeluarkan substansi “vasokonstriksi” yang mengakibatkan pembuluh darah kapiler vasokonstriksi, selanjutnya terjadi penempelan endotel yang yang akan menutup pembuluh darah.

Periode ini hanya berlangsung 5-10 menit, dan setelah itu akan terjadi vasodilatasi kapiler stimulasi saraf sensoris (local sensoris nerve ending), local reflex action, dan adanya substansi vasodilator: histamin, serotonin dan sitokins. Histamin kecuali menyebabkan vasodilatasi juga mengakibatkan meningkatnya permeabilitas vena, sehingga cairan plasma darah keluar dari pembuluh darah dan masuk ke daerah luka dan secara klinis terjadi edema jaringan dan keadaan lokal lingkungan tersebut asidosis. Eksudasi juga mengakibatkan migrasi sel lekosit (terutama netrofil) ke ekstra vaskuler. Fungsi netrofil adalah melakukan fagositosis benda asing dan bakteri di daerah luka selama 3 hari dan kemudian akan digantikan oleh sel makrofag yang berperan lebih besar jika dibanding dengan netrofil pada proses penyembuhan luka. Fungsi makrofag disamping fagositosis adalah:

a. Sintesa kolagen

b. Pembentukan jaringan granulasi bersama-sama dengan fibroblas

c. Memproduksi growth factor yang berperan pada re-epitelisasi

d. Pembentukan pembuluh kapiler baru atau angiogenesis

Dengan berhasilnya dicapai luka yang bersih, tidak terdapat infeksi atau kuman serta terbentuknya makrofag dan fibroblas, keadaan ini dapat dipakai sebagai pedoman/parameter bahwa fase inflamasi ditandai dengan adanya: eritema, hangat pada kulit, edema dan rasa sakit yang berlangsung sampai hari ke-3 atau hari ke-4.

2. Fase Proliferasi

Proses kegiatan seluler yang penting pada fase ini adalah memperbaiki dan menyembuhkan luka dan ditandai dengan proliferasi sel. Peran fibroblas sangat besar pada proses perbaikan, yaitu bertanggung jawab pada persiapan menghasilkan produk struktur protein yang akan digunakan selama proses rekonstruksi jaringan.

Pada jaringan lunak yang normal (tanpa perlukaan), pemaparan sel fibroblas sangat jarang dan biasanya bersembunyi di matriks jaringan penunjang. Sesudah terjaid luka, fibroblas akan aktif bergerak dari jaringan sekitar luka ke dalam daerah luka, kemudian akan berkembang (proliferasi) serta mengeluarkan beberapa substansi (kolagen, elastin, hyaluronic acid, fibronectin dan profeoglycans) yang berperan dalam membangun (rekonstruksi) jaringan baru.

Fungsi kolagen yang lebih spesifik adalah membnetuk cikal bakal jaringan baru (connective tissue matrix) dan dengan dikeluarkannnya subtrat oleh fibroblast, memberikan tanda bahwa makrofag, pembuluh darah baru dan juga fibroblas sebagai satu kesatuan unit dapat memasuki kawasan luka.

Sejumlah sel dan pembuluh darah baru yang tertanam di dalam jaringan baru tersebut disebut sebagai jaringan granulasi, sedangkan proses proliferasi fibroblas dengan aktifitas sintetiknya disebut fibroblasia. Respons yang dilakukan fibroblas terhadap proses fibroplasia adalah:

a. Proliferasi

b. Migrasi

c. Deposit jaringan matriks

d. Kontraksi luka

Angiogenesis suatu proses pembentukan pembuluh kapiler baru didalam luka, mempunyai arti penting pada tahap proleferaswi proses penyembuhan luka. Kegagalan vaskuler akibat penyakit (diabetes), pengobatan (radiasi) atau obat (preparat steroid) mengakibatkan lambatnya proses sembuh karena terbentuknya ulkus yang kronis. Jaringan vaskuler yang melakukan invasi kedalam luka merupakan suatu respons untuk memberikan oksigen dan nutrisi yang cukup di daerah luka karena biasanya pada daerah luka terdapat keadaan hipoksik dan turunnya tekanan oksigen. Pada fase ini fibroplasia dan angiogenesis merupakan proses terintegrasi dan dipengaruhi oleh substansi yang dikeluarkan oleh platelet dan makrofag (grwth factors).

Proses selanjutnya adalah epitelisasi, dimana fibroblas mengeluarkan “keratinocyte growth factor (KGF) yang berperan dalam stimulasi mitosis sel epidermal. Keratinisasi akan dimulai dari pinggir luka dan akhirnya membentuk barrier yang menutupi permukaan luka. Dengan sintesa kolagen oleh fibroblas, pembentukan lapisan dermis ini akan disempurnakan kualitasnya dengan mengatur keseimbangan jaringan granulasi dan dermis. Untuk membantu jaringan baru tersebut menutup luka, fibroblas akan merubah strukturnya menjadi myofibroblast yang mempunyai kapasitas melakukan kontraksi pada jaringan. Fungsi kontraksi akan lebih menonjol pada luka dengan defek luas dibandingkan dengan defek luka minimal.

Fase proliferasi akan berakhir jika epitel dermis dan lapisan kolagen telah terbentuk, terlihat proses kontraksi dan akan dipercepat oleh berbagai growth factor yang dibentuk oleh makrofag dan platelet.

3. Fase Maturasi

Fase ini dimulai pada minggu ke-3 setelah perlukaan dan berakhir sampai kurang lebih 12 bulan. Tujuan dari fase maturasi adalah menyempurnakan terbentuknya jaringan baru menjadi jaringan penyembuhan yang kuat dan bermutu. Fibroblas sudah mulai meninggalkan jaringan garunalasi, warna kemerahan dari jaringan mulai berkurang karena pembuluh mulai regresi dan serat fibrin dari kolagen bertambah banyak untuk memperkuat jaringan parut. Kekuatan dari ajringan parut akan mencapai puncaknya pada minggu ke-10 setelah perlukaan. Sintesa kolagen yang telah dimulai sejak fase proliferasi akan dilanjutkan pada fase maturasi. Kecuali pembentukan kolagen juga akan terjadi pemecahan kolagen oleh enzim kolagenase. Kolagen muda ( gelatinous collagen) yang terbentuk pada fase proliferasi akan berubah menjadi kolagen yang lebih matang, yaitu lebih kuat dan struktur yang lebih baik (proses re-modelling).

Untuk mencapai penyembuhan yang optimal diperlukan keseimbangan antara kolagen yang diproduksi dengan yang dipecahkan. Kolagen yang berlebihan akan terjadi penebalan jaringan parut atau hypertrophic scar, sebaliknya produksi yang berkurang akan menurunkan kekuatan jaringan parut dan luka akan selalu terbuka.

Luka dikatakan sembuh jika terjadi kontinuitas lapisan kulit dan kekuatan jaringan kulit mampu atau tidak mengganggu untuk melakukan aktivitas yang normal.

( www.wikipedia.com )

Senin, Oktober 05, 2009

Demam tifoid

1. Klasifikasi Demam
Tipe demam berdasarkan pola dapat dibagi menjadi empat, yaitu :
a. Demam Remitten
Menurun setiap hari namun tidak mencapai normal.
b. Demam Intermitten
Suhu badan menurun normal dalam beberapa jam dalam waktu 1 hari.
c. Demam Kontinyu
Variasi suhu tak berbeda lebih dari 1’C.
d. Demam Siklik
Suhu meningkat beberapa hari, normal, dan meningkat lagi seperti semula.

2. Definisi penyakit yang ditimbulkan oleh Salmonella tyhpi
Demam tifoid atau demam enterik merupakan penyakit demam akut yang disebabkan oleh kuman Salmonella thypi. Penyakit ini dapat pula disebabkan oleh S. Enteritis bioserotip paratyhpi A dan S. Enteridis serotip parathypi B yang disebut demam paratifoid. Tifoid berasal dari bahasa Yunani yang berarti smoke, karena terjadi penguapan panas tubuh serta gangguan kesadaran disebabkan demam yang tinggi.
Port d’entre S. Thypi adalah usus. Seseorang bisa menjadi sakit bila menelan organisme ini. Organisme yang tertelan tadi masuk ke dalam lambung untuk mencapai usus halus. Asam lambung tampaknya kurang berpengaruh terhadap kehidupannya. Organisme secara cepat mencapai usus halus bagian proksimal, melakukan penetrasi ke dalam epitel mukosa S. thypi telah sampai di kelenjar getah bening regional mesenterium dan kemudian trejadi bakteremia dan kuman sampai di hati, limpa, juga sumsung tulang, dan ginjal. S. thypi segera difagosit oleh sel-sel fagosit mononukleus yang ada di organ tersebut. Di sini kuman berkembang biak memperbanyak diri. Inilah karaketristik dari S. thypi yang akan menentukan perjalanan penyakit yang ditimbulkannya.

3. Patogenesis dari infeksi yang ditimbulkan oleh Salmonella thypi
Salmonella thypi masuk tubuh manusia melalui makanan dan air yang tercemar. Sebgaian kuman dimusnahkan oleh asa lambung dan sebagian yang lainnya masuk ke dalam usus halus dan mencapai jaringan limfoid plak Peyeri di ileum terminalis yang hipertrofi. Bila terjadi komlikasi perdarahan dan perforasi intestinal, kuman menembus lamina propia, masuk alirna limfe mencapai kelenjar limfe mesenterial, dan masuk alirna darah melaui duktus torasikus. Salmonella thypi lain dapat mencapai hati melalui sirkulasi portal usus. S. thypi bersarang di plak Peyeri, limpa, hati, dan bagian-bagian lain sistem retikuloendotelial. Endotoksin S. thypi berperan dalam proses inflamasi lokal pada jaringan tempat kuman tersebut berkembangbiak. S. thypi dan endotoksinnya merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen dan leukosit pada jaringan yang meradang, sehingga terjadi demam.

4. Deskripsi dan mikrobiologi kuman Salmonella thypi :
Salmonella thypi merupakan organisme yang berasal dari genus Salmonella, agen penyebab bermacam-macam infeksi, mulai dari gastroenteritis yang paling ringan sampai dengan demam tifoid yang berat disertai bakteremia.
v Morfologi : kuman berbentuk batang, tidak berspora, pada pewarnaan gram bersifat negatif Gram, ukuran 1-3,5 µm x 0,5-0,8 µm, besar koloni rata-rata 2-4 mm, mempunyai flagel peritrikh kecuali Salmonella pullorum dan Salmonella gallinarum.
v Fisiologi : kuman tumbuh pada suasana aerob dan fakultatif anaerob, pada suhu 15-41oC (optimum pertumbuhan 37,5oC) dan pada pH 6-8. Salmonella thypi hanya sedikit membentuk gas H2S dan tidak memebntuk gas pada fermentasi glukosa. Pada agar SS, Endo, EMB, dan MacConkey koloni kuman berbentuk bulat, kecil, dan tidak berwarna, pada agar Wilson-Blair koloni kuman berawarna hitam.
v Daya Tahan : kuman mati pada suhu 56oC juga pada keadaan kering. Dalam air bisa tahan selama 4 minggu. Hidup subur pada medium yang mengandung garam empedu. Tahan terhadapat zat warna hijau brilian dan senyawa Natrium tetraionat, dan Natrium deoksiholat.

5. “Sign and Symtomps” dari penyakit thypoid
Demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai denga berat, dari asimtomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian.
v Gejala pada minggu pertama :
· Demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare
· Perasaan tidak enak di perut, batuk, epistaksis
· Pada pemeriksaan fisik hanya didapati suhu badan yang meningkat. Sifat demamnya meningkat perlahan-lahan terutama pada sore hingga malam hari.
v Gejala pada minggu kedua :
· Demam
· Bradikardia relatif (bradikardia relatif adalah peningktan suhu 1oC tidak diikuti dengan peningkatan denyut nadi 8 kali/menit)
· Lidah berselaput (kotor di tengah, tepi, dan ujung merah serta tremor)
· Hepatomegali, spleenomegali, meteroismus
· Gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis
· Rosolae jarang ditemukan pada orang Indonesia

6. Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan dan fungsinya
v Pemerikasaan rutin :
Pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan leukopenia namun dapat pula terjadi kadar leukosit yang normal atau leukositosis. Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu dapat juga ditemukan anemia ringan dan trombositopenia.
Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia maupun limfopenia. Laju endap darah pada demam tifoid dapat meningkat.
SGOT dan SGPT dapat meningkatm tetapi akan menjadi normal setelah sembuh.
v Uji Widal :
Uji Widal dilakukan untuk mendeteksi antibodi terhadapt kuman S. thypi. Pada uji ini terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman S. thypi dengan antibodi yang disebut aglutinin.
Maksud uji Widal adalh untuk menemukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu :
· Aglutinin O (somatik kuman)
· Aglutinin H (flagela kuman)
· Aglutinin Vi (envelope kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan infeksi kuman S. thypi.
v Kultur darah :
Hasil biakan darah positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena ada faktor-faktor lain seperti berikut :
· Telah mendapat terapi antibiotik sehingga pertumbuhan kuman terhambat.
· Volume darah yang kurang (± 5cc darah)
· Riwayat vaksinasi, vaksinasi pada masa lampau dapat membentuk antibodi. Antibodi ini dapat menekan bakteremia.
· Pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat aglutinin semakin meningkat.
7. Causative dan symptomatic
Kausatif :
Chloramfenikol
Sefalosporin Generasi 3
Symptomatik (Diobati sesuai gejala) :
Mual dan muntah diberi antiemetic (metaklopramid)
Panas diberi antipiretik (paracetamol)
Nyeri kepala diberi analgetik (metampiron)

8. Pentalaksaan demam thypoid :
v Pemberian Antibiotik : antibiotik ini digunakan untuk menghentikan serta memusnahkan penyebaran kuman.
v Istirahat dan perawatan profesinal :
Bertujuan mencegah komplikasi dan mempercepat pernyembuhan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih 14 hari. Mobilisasi dilakukan secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien. Dalam perawatan harus di jaga kebersihan ruangan, pakaian, tempat tidur, peralatan untuk pasien dan higienitas makanan. Pasien dengan kesadaran menurun posisinya perlu diubah-ubah untuk mencegah pneumonia hipostatik. Defekasi dan buang air kecil perlu diperhatikan karena kadang terjadi konstipasi.
v Diet dan terapi penunjang (simtomatis dan suportif)
· Pemberian bubur saring, kemudian bubur kasar, dan nasi, sesuai dengan tingkat kesembuhan pasien.
· Pemberian makanan padat dini, yakni nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang serta kasar).
· Pemberian vitamin dan mineral untuk mendukung keadaan umum pasien. Diharapkan dengan menjaga keseimbangan homeostasis, sistem imun akan terbentuk.
· Pada kasus perforasi intetsinal dan renjatan septik diperlukan perawatan intensif dengan nutrisi parenteral total, yakni kombinasi beberapa obat yang bekerja sinergis maupun spektrum antibiotik.
9. Nutrisi penunjang demam typhoid
a) Mudah cerna, porsi makanan kecil dan diberikan sering
b) Protein cukup untuk mengganti jaringan yg rusak
c) Tidak merangsang, secara mekanik, termis maupun kimia
d) Dipertimbangkan suplemen vitamin (B12)

10. Lifestyle
Higienis sanitasi harus baik
Jgn jajan pinggir jalan
Stress
Asupan gizi

11. Cara kerja Parasetamol dan Amoksilin :
v Parasetamol :
· Farmakodinamik : efek analgesik parasetamol serupa dengan salisilat yaitu menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Keduanya menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga juga berdasarkan efek sentral seperti salisilat. Efek anti-inflamasinya sangat lemah oleh karena itu parasetamol tidak digunakan sebagai antireumatik. Parasetamol merupakan penghambat biosintesis PG yang lemah. Efek iritasi, erosi, dan pendarahan lambung tidak terllihat pada obat ini, demikian juga gangguan pernapasan dan keseimbangan asam-basa.
· Farmakodinamik : Parasetamol diabsorpsi cepat dan sempurna melalui saluran cerna. Konsentrasi tertinggi dalam plasma antara ½ jam dan masa paruh plasma antara 1-3 jam. Obat ini tersebar keseluruh tubuh dan akan di metabolisme oleh enzim mikrosom hati Obat ini akan diekskresi melalui ginjal, sebagian parasetamol dan sebagian besar dalam bentuk konjugasi.
v Amoksilin :
· Farmakodinamik :
· Farmakokinetik :

Reaksi Hipersensitivitas

Tubuh kita sepanjang waktu terpapar dengan bakteri, virus, jamur, dan parasit, semuanya terjadi secara normal dan dalam berbagai tingkatan dalam kulit, mulut, jalan nafas, traktus intestinal, membran yang melapisi mata, dan bahkan traktus urinarius. Banyak dari bahan ini mampu menyebabkan penyakit yang serius jika mereka menyerbu ke jaringan yang lebih dalam. Selain itu, secara intermiten kita berhubungan dengan bakteri dan virus yang sangat infeksius di samping bentuk yang memang dijumpai dalam keadaan normal, dan dapat menimbulkan penyakit yang mematikan, misalnya penumonia, infeksi streptokokus, dan demam tifoid. Namun tubuh kita mempunyai suatu sistem khusus untuk memberantas bermacam-macam bahan yang infeksius dan toksik (Guyton, 1997).Mekanisme pertahanan ini terdiri atas alamiah atau non spesifik (natural/innate) dan didapat atau spesifik (adaptive/acquired) (Baratawidjaja, 1996).Bila terjadi perubahan reaktivitas, tubuh bereaksi dengan respons imun berlebihan atau tidak tepat terhadap suatu benda asing, keadaan ini disebut hipersensitivitas (Dorland, 2002). Hipersensitivitas yang terjadi akibat respon imun yang berlebih dapat menimbulkan kerusakan jaringan tubuh (Baratawidjaja, 1996)
Reaksi hipersensitivitas oleh Gell dan Coombs dibagi dalam 4 tipe reaksi berdasarkan kecepatan dan mekanisme imun yang terjadi, yaitu tipe I, II, III dan IV.
I. Reaksi Hipersensitivitas tipe I
Reaksi tipe I yang disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaksis atau reaksi alergi, timbul segera sesudah badan terpapar terhadap alergen. Pada reaksi ini alergen yang masuk ke dalam tubuh menimbulkan respons imun dengan dibentuknya IgE.
Pada hipersensitivitas tipe I, secara berurutan, sebagai berikut (Kresno, 2003) :
1. Produksi IgE oleh sel B sebagai respons terhadap antigen paparan pertama
2. Pengikatan IgE pada reseptor Fc yang terdapat pada permukaan sel mastosit dan basofil
3. Interaksi antigen paparan kedua dengan IgE pada permukaan sel yang mengakibatkan aktivasi sel yang bersangkutan dan penglepasan berbagai mediator yang tersimpan dalam granula sitoplasma sel tersebut.
Paparan ulang pada IgE yang telah melekat pada mastosit dan basofil oleh alergen spesifik mengakibatkan alergen diikat oleh IgE sedemikian rupa sehingga alergen tersebut membentuk suatu jembatan antara 2 molekul IgE pada permukaan sel, hal ini disebut sebagai crosslinking (Abbas, 2000). Namun, crosslinking hanya bisa terjadi dengan antigen yang bivalen atau multivalen dan tidak terjadi pada antigen yang univalen (Kresno, 2003). Crosslinking yang sama dapat terjadi bila fragmen Fc-IgE bereaksi dengan anti-IgE, atau apabila reseptor FcεRI dihubungkan satu sama lain oleh anti-reseptor Fc. (Kresno, 2003). Dan crosslinking inilah yang merupakan mekanisme awal atau sinyal untuk degranulasi basofil (Abbas, 2000).Sifat khusus IgE adalah adanya kecenderungan yang kuat untuk melekat pada sel mas dan basofil. Pada saat sel mast dan basofil mengeluarkan beberapa bahan seperti histamin, SRS-A, substansi kemotaktik eosinofil, protease, substansi kemotaktik netrofil, heparin dan faktor pengaktif trombosit. Substansi-substansi ini menyebabkan suatu fenomena seperti dilatasi pembuluh darah setempat, penarikan eosinofil dan netrofil menuju tempat yang reaktif, kerusakan jaringan setempat karena protease, peningkatan permeabilitas kapiler dan hilangnya cairan ke dalam jaringan, dan kontraksi otot polos setempat.
II. Reaksi Hipersensitivitas tipe II
Reaksi tipe II disebut juga reaksi sitotoksik, terjadi karena dibentuknya antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Antibodi tersebut mengaktifkan sel K sebagai efektor Antibody Dependent Cell Cytotoxicity (ADCC). Selanjutnya ikatan antigen-antibodi dapat mengaktifkan komplemen yang melalui reseptor C3b memudahkan fagositosis dan menimbulkan lisis. Contoh reaksi tipe II ialah destruksi sel darah merah akibat transfusi, penyakit anemia hemolitik, reaksi obat dan kerusakan jaringan pada penyakit autoimun.Pada hipersensitivitas tipe II, antibodi yang ditujukan kepada antigen permukaan sel atau jaringan berinteraksi dengan komplemen dan berbagai jenis sel efektor untuk merusak sel sasaran. Setelah antibodi melekat pada permukaan sel, antibodi akan mengikat dan mengaktivasi komponen C1 komplemen (Kresno, 2003). Konsekuensinya adalah (Abbas, 2000) :
1. Fragmen komplemen (C3a dan C5a) yang dihasilkan oleh aktivasi komplemen akan menarik makrofag dan PMN ke tempat tersebut, sekaligus menstimulasi sel mastosit dan basofil untuk memproduksi molekul yang menatikdan mengaktivasi sel efektor lain.
2. Aktivasi jalur klasik komplemen mengakibatkan deposisi C3b, C3bi dan C3d pada membran sel sasaran.
3. Aktivasi jalur klasik dan jalur litik menghasilkan C5b-9 yang merupakan membrane attack complex (MAC) yang kemudian menancap pada membran sel.
III. Reaksi Hipersensitivitas tipe III
Reaksi tipe III ini disebut juga reaksi kompleks imun, terjadi bila kompleks antigen-antibodi ditemukan dalam jaringan atau sirkulasi/dinding pembuluh darah dan mengaktifkan komplemen. Antibodi di sini biasanya jenis IgG atau IgM. Komplemen yang diaktifkan kemudian melepas Macrophage Chemotactic Factor. Makrofag yang dikerahkan ke tempat tersebut melepaskan enzim yang dapat merusak jaringan di sekitarnya.Antigen dapat berasal dari infeksi kuman patogen yang persisten (malaria), bahan yang terhirup (spora jamur) atau dari jaringan sendiri (autoimun). Infeksi dapat disertai dengan antigen dalam jumlah yang berlebihan, tetapi tanpa adanya respons antibodi yang efektif.Sebenarnya dalam keadaan normal kompleks imun dimusnahkan oleh sel fagosit mononuklear, terutama di hati, limpa dan paru tanpa bantuan komplemen. Dalam proses tersebut, ukuran kompleks merupakan faktor yang penting. Pada umumnya kompleks yang besar dapat dengan mudah dan cepat dimusnahkan oleh makrofag dalam hati. Kompleks imun kecil dan larut sulit untuk dimusnahkan, karena itu dapat lebih lama berada dalam sirkulasi (Baratawidjaja, 1996).Pada hipersensitivitas tipe III, pemaparan pada antigen dalam jangka panjang dapat merangsang pembentukan antibodi yang umumnya tergolong IgG dan bukan IgE seperti halnya pada reaksi hipersensitivitas tipe I. Anibodi bereaksi dengan antigen bersangkutan membentuk kompleks antigen-antibodi yang kemudian dapat mengendap pada salah satu tempat dalam jaringan tubuh. Pembentukan kompleks imun (kompleks antigen-antibodi) itu akan menimbulkan reaksi inflamasi. Aktivasi sitem komplemen, menyebabkan pelepasan anafilatoksin yang kemudian merangsang penglepasan berbagai mediator oleh mastosit. Selanjutnya terjadi vasodilatasi dan akumulasi PMN yang menghancurkan kompleks. Di lain pihak proses itu juga merangsang PMN sehingga sel-sel tersebut melepaskan isi granula berupa enzim-enzim proteolitik di antaranya proteinase, kolagenase dan enzim pembentuk kinin. Apabila kompleks antigen-antibodi tersebut mengendap di jaringan, prosdes di atas bersama-sama dengan aktivasi komplemen dapat sekaligus merusak jaringan sekitar kompleks (Abbas, 2000).
IV. Reaksi Hipersensitivitas tipe IV
Reaksi tipe IV disebut juga reaksi hipersensitivitas lambat, Cell Mediated Immunity (CMI), Delayed Type Hypersensitivity (DTH) atau reaksi tuberkulin yang timbul lebih dari 24 jam setelah tubuh terpapar dengan antigen. Reaksi terjadi karena respons sel T yang sudah disensitisasi terhadap antigen tertentu. Di sini tidak ada peranan antibodi. Akibat sensitisasi tersebut, sel T mengeluarkan limfokin, antara lain Macrophage Inhibition Factor (MIF) dan Macrophage Activation Factor (MAF). Makrafag yang diaktifkan dapat menimbulkan kerusakan jaringan.Antigen yang dapat mencetuskan reaksi tersebut dapat berupa jaringan asing, mikroorganisme intraselular, protein atau bahan kimia yang dapat menembus kulit dan bergabung dengan protein yang berfungsi sebagai carrier.Untuk reaksi tipe IV diperlukan masa sensitisasi selama 1-2 minggu, yaitu untuk meningkatkan jumlah klon sel T yang spesifik untuk antigen tertentu. Antigen tersebut harus dipresentasikan dahulu oleh APC. Kontak yang berulang akan menimbulkan serentetan reaksi yang menimbulkan reaksi yang menimbulkan kelainan khas dari CMI (Baratawidjaja, 1996).Pada hipersensitivitas tipe IV, terdapat 3 macam reaksi penting (Kresno, 2003), yaitu :
1. Reaksi kontak
Ada 2 fase, yaitu fase sensitasi dan elisitasi (Kresno, 2003). Pada fase sensitasi, sel Langerhans membawa antigen ke area parakortikal kelenjar getah bening regional, mempresentasikan antigen yang telah diproses (bersama MHC kelas II) kepada sel CD4+ dan menghasilkan populasi sel CD4+ memori (Barnetson, 2003).Pada fase elisitasi terjadi degranulasi dan penglepasan sitokin oleh sel mastosit segera estela kontak. TNF-α dan IL-1 yang dihasilkan oleh berbagai jenis sel, khusunya makrofag, merupakan faktor yang poten untuk menginduksi molekul adhesi endotel. Penglepasan sitokin lokal ini merupakan sinyal bagi sel-sel mononuklear untuk bermigrasi ke kulit dan menimbulkan reaksi kontak. Sebagian besar sel infiltrat adalah CD4+, dan hanya sedikit CD8+. Supresi reaksi inflamasi dapat diperantarai oleh berbagai sitokin. Makrofag dan keratinosit menghasilkan Prostaglandin E yang menghambat produksi IL-1 dan IL-2; sel T mengikat keratinosit yang aktif dan konjugat hapten mengalami degradasi enzimatik (Barnetson, 2003).
2. Reaksi tuberkulin
Reaksi ini dapat diikuti dengan reaksi yang lebih lambat yang ditandai dengan adanya agregasi dan proliferasi makrofag membentuk granuloma yang menetap selama beberapa minggu (Kresno, 2003). Pemaparan ulang sel T memori pada kompleks antigen MHC kelas II yang ditampilkan oleh APC merangsang sel T CD4+ untuk melakukan transformasi blast disertai pembentukan DNA dan proliferasi sel. Sebagian dari populasi limfosit teraktivasi mengeluarkan berbagai mediator yang menarik makrofag ke tempat bersangkutan. Dalam hal ini makrofag adalah APC utama yang berperan, di samping adanya sel-sel CD1+ yang membuktikan keterlibatan sel Langerhans dalam reaksi ini (Abbas, 2000).
3. Reaksi granuloma
Reaksi ini merupakan reaksi hipersensitivitas yang jenis lambat yang paling penting karena dapat menyebabkan berbagai keadaan patologis pada penyakit-penyakit yang melibatkan respons imun selular (Kresno, 2003). Biasanya reaksi ini terjadi karena makrofag tidak ampu menyingkirkan mikroorganisme atau partikel yang ada di dalamnya, sehingga partikel itu menetap. Kadang-kadang reaksi ini juga diakibatkan oleh kompleks imun yang persisten. Proses ini mengakibatkan pembentukan granuloma (Barnetson, 2003).
Pengertian Dermatitis Atopik
Dermatitis atopik merupakan penyakit peradangan kronik yang sifatnya hilang timbul yang disertai rasa gatal pada kulit, dan gejala lainnya adalah eritema, papula, vesikel, krusta, skuama, dan pruritus tang hebat. (Akib, 2007)
Macam-Macam Dermatitis Atopik
Dermatitis atopik dibagi 2 tipe yaitu :
a. Tipe 1 : murni tidak disertai keterlibatan saluran napas, ada dua tipe yaitu :
a. Intrinsik : tidak terdeteksi adanya sensitasi IgE spesifik dan tidak terdapat peningkatan IgE total serum.
b. Ekstrinsik : terbukti dengan adanya terhadap alergen hirup dan alergen makanan pada uji kulit dan serum.
b. Tipe 2 : bentuk campuran disertai gejala saluran napas dan terdapat sensitasi IgE. menghilangkan faktor pencetus dan berbagai pengobatan yang baru. (Akib, 2007)
Manifestasi Klinis
Terdapat tiga bentuk klinis dermatitis atopik yaitu :
1. Bentuk infatil
Secara klinis berbentuk dermatitis akut eksudat dengan predileksi daerah muka terutama pipi dan daerah ekstensor ekstremitas, bentuk ini berlangsung sampai usia 2 tahun.
2. Bentuk anak
Gejala kilnis ditandai oleh kulit kering (xerosis) ynag lebih bersifat kronik dengan predileksi daerah fleksura antekubiti, poplitea, tangan, kaki dan periorbita.
3.Bentuk dewasa
Dermatitis atopik bentuk dewasa terjadi pada usia 20 tahun. Umumnya pada daerah lipatan muka, leher, badan bagian atas dan ekstremitas.lesi berbentuk kronik dengan gejala utama likenifikasi dan skuamasi. (Akib, 2007)

Kriteria Diagnosa Dermatitis Atopik
a. Kriteria mayor
1. Pruritus
2. Morfologi dan distrubusi khas
3. Dermatitis bersifat kronik residif
4. Riwayat atopi
b. Kriteria minor
1. Xerosis, iktiosis, reaktivitas pada uji kulit tipe cepat, peningkatan kadar ige, infeksi kulit, dermatitispada areola mammae, kelitis, konjugtrivis berulang.
2. Lipatan Donie-Morgan daerah infraorbita, keratokonus, katarak subkapsular anterior, hiperpigmentasi daerah orbita, eritema daerah muka, pitiriasis alba, lipatan leher anterior, gatal bila berkeringat.
3. Intoleransi terhadap bahan wol dan lipid solven, gambaran perifolikular lebih nyata, intoleransi makanan, perjalanan penyakit dipengaruhi lingkungan dan emosi, white dermographism/delayed blanch. (Akib, 2007)

Etiologi Dermatitis Atopik
Penyebab dermatitis atopi belum diketahui. Sekitar 70% penderita ditemukan riwayat stigmata atopi pada pasien atau anggota keluarga, yaitu berupa ;
1. Rhinitis alergika, asma bronkhiale, hay fever
2. Alergi terhadap berbagai alergen protein (polivalen)
3. Pada kulit : Dermatitis atopi, dermatografisme putih dan kecenderungan timbul urtikaria.4. Reaksi abnormal terhadap perubahan suhu (panas dan dingin) dan stress.
5. Resistensi menurun terhadap infeksi virus dan bakteri.
6. Lebih sensitif terhadap serum dan obat.
7. Kadang-kadang terdapat katarak juvenelis. (Robbins, 2007)

Dermatitis atopik (DA) merupakan penyakit peradangan kronik hilang timbul yang disertai rasa gatal pada kulit. Kelainan ini terutama terjadi pada bayi dan anak, menghilang pada 50% kasus saat remaja tetapi dapat menetap atau bahkan dimulai pada masa dewasa.Gatal merupakan gejala yang sangat umum dijumpai pada DA padahal menggaruk akan menambah gambaran klinis bahkan memperberat keadaan dengan kemungkinan timbulnya infeksi sekunder.
Dermatitis atopik dibagi 2 tipe yaitu:
1. Tipe 1 : murni tidak disertai keterlibatan saluran
napas, ada 2 tipe yaitu :
− Intrinsik : tidak terdeteksi adanya sensitasi IgE spesifik dan tidak terdapat peningkatan IgE total serum.
− Ekstrinsik : terbukti dengan adanya sensitasi terhadap alergen hirup dan alergen makanan pada uji kulit dan pada serum.
2. Tipe 2 : bentuk campuran disertai gejala saluran napas dan terdapat sensitasi IgE. Patogenesis DA sampai saat ini masih banyak yang belum diketahui secara pasti sehingga belum ada pengobatan yang dapat memberikan kesembuhan total pada penderita DA.
Penatalaksanaan DA
Penatalaksanaan DA saat ini ditujukan terutama untuk mengurangi tanda dan gejala penyakit, mencegah / mengurangi kekambuhan sehingga mengatasi penyakit dalam jangka waktu lama, serta mengubah perjalanan penyakit. Keberhasilan pengobatan DA memerlukan pendekatan sistematik dan holistik. Walaupun berbagai cara pengobatan dasar telah digunakan masih banyak kasus yang refrakter sehingga memerlukan pengobatan khusus:
1. Hidrasi kulit
Untuk mengatasinya dapat dilakukan :
− Hidrasi kulit berupa mandi atau berendam 2 – 3 kali sehari dengan air hangat yang dicampur dengan minyak selama paling sedikit 20 menit. Hidrasi dengan mandi air hangat atau balut basah dimaksudkan untuk dapat meningkatkan penetrasi kortikosteroid topikal di daerah transepidermal. Cara balut basah ini dianjurkan untuk DA yang berat atau kronik sebagai perawatan kulit kemudian diikuti dengan penggunaan emolient / minyak secara oklusif (emolient adalah produk untuk melembabkan dan melembutkan kulit), ini efektif dalam membantu mempersiapkan perbaikan kembali barier dari stratum korneum dan mengurangi keperluan steroid topikal. Akan tetapi kadang-kadang pula emollient oklusif ini tidak disukai karena mempengaruhi fungsi kelenjar keringat dan dapat menyebabkan berkembangnya folikulitis.
− Karena kulit penderita DA kering (xerosis), sebaiknya diberikan salap lipofilik (emulsi air dalam minyak) daripada krim hidrofilik (emulsi minyak dalam air). Krim dan lotion dapt mengiritasi kulit karena menguapnya air ataupun karena iritasi bahan tambahan dalam krim.
− Menghindari penggunaan berbagai bahan yang dapat menyebabkan iritasi kulit terutama oleh karena kulit penderita selalu dalam keadaan kering. Bahan yang dimaksudkan seperti sabun deterjen yang kuat, bahan pewangi, bahan pemutih pakaian.
− Kelembaban ruangan dipertahankan 50 – 60% untuk menghindari pengeringan kulit.1,7
2. Kortikosteroid topikal
Kortikosteroid topikal merupakan pilihan yang utama untuk mengurangi inflamasi pada penderita DA. Penggunaan steroid topikal, yaitu suatu bahan yang bekerja dan bersifat anti-inflamasi merupakan dasar terapi untuk pengobatan lesi-lesi eksematosa. Akan tetapi dalam penggunaannya akan tergantung pada lokasi dan keadaan lesi kulit serta aman untuk digunakan sehingga penderita harus diinstruksi secara hati-hati untuk menghindari potensi efek samping,terutama potensi kuat harus dihindarkan dari wajah, genitalia, dan daerah intertrigo dan secara umum preparat potensi ringan direkomendasikan pada daerah ini. Oleh karena itu penggunaan steroid topikal ini ditekankan hanya pada lesi DA saja sedangkan pada kulit yang tidak terlibat cukup dengan emolient untuk menghindari kulit kering dan proses inflamasi. Kegagalan kadang-kadang terjadi oleh karena tidak adekuatnya pemberian glukokortikoid ini